Kamis, 17 November 2011

artikel

Konsep Manusia Dalam Al-Qur’an.

OLEH : JAMILUDDIN.

DICONFILASI DARI BERBAGAI SUMBER

Manusia diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib bersyukur atas karunia yang telah diberikan Allah Swt. Manusia menurut pandangan al-Quran, al-Quran tidak menjelaskan asal-usul kejadian manusia secara rinci. Namun yang ada dalam al-Quran berupa penjelasan yang prinsip saja. Ayat-ayat mengenai kejadian manusia ada pada surat Nuh 17, Ash-Shaffat 11, Al-Mukminuun 12-13, Ar-Rum 20, Ali Imran 59, As-Sajdah 7-9, Al-Hijr 28, dan Al-Hajj 5.

Al-Quran menjelaskan kejadian manusia dari tanah Allah menggunakan istilah yang beragam, seperti kata : Turob, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Kata ini dapat diartikan bahwa jasad manusia itu diciptakan Allah dari ber-macam unsur kimiawi yang ada di tanah. Sementara proses selanjutnya, al-Quran tidak dijelaskan dengan rinci. Jika diamati dengan seksama, manusia sekarang ini dilahirkan dari rahim seorang ibu dengan proses penciptaan yang dimulai sejak pertemuan antara permatozoa dengan ovum. Tentang pemahaman Ayat-ayat yang menyebutkan, manusia diciptakan dari tanah, berdasarkan pemahaman secara lahiriah. Masalah tersebut akibat adanya pendapat bahwa manusia benar-benar berasal dari tanah, dan ini akibat dari asumsi karena Tuhan maha kuasa, segala sesuatu dapat terjadi atas kehendaknya.

ADAM MANUSIA PERTAMA ATAU ?

Dalam kalangan segelintir ummat Islam, ada yang mengatakan Adam bukan manusia yang pertama karena dia mengasumsikan bahwa ayat yang menjelaskan manusia diciptakan dari tanah, bukan berarti semua unsur kimia yang ada dalam tanah ikut mengalami reaksi kimia. Dia memisalkan tumbuhan yang menyerap makanan dari tanah, dan yang diserap tidak semua unsure kimia, tetapi hanya sebagaian saja yang diserap sebagai bahan makanan.maka dari itu dia berpendapat terbentuknya manusia sebagaimana disebut dalam al-Quran hanya sebagai petunjuk terbentuknya manusia dari bahan berupa ammonia, menthe, dan air, tiga unsure kimiawi bereaksi dan dinyatakan dg istilah Lumpur hitam yang diberi bentuk (maksudnya bahan yang ada pada Lumpur hitam, kemudian diolah dalam bentuk reaksi kimia wallauaklam). Sementara yang dimaksud dengan tembikar yang dibakar adalah proses kejadian manusia melalui oksidasi pembakaran. Karena pada pada zaman dahulu tenaga yang memungkinkan terjadinya sintesa cukup banyak, dan terdapat di mana-mana seperti panas dan sinar ultraviolet.

Zahir ayat yang menyatakan jika Allah menghendaki sesuatu jadi maka jadilah ( kun fayakun ), bukan ayat yang menjamin bahwa setiap yang dikehendaki Allah pasti akan terwujud seketika. Dalam hal ini harus dibedakan antara kalimat kun fayakun dengan kun fa kana. Apa yang dikehendaki Allah pasti terwujud dan terwujudnya mungkin saja melalui suatu proses. ini dimungkinkan karena segala sesuatu yang ada didunia akan mengalami proses sebagaimana dinyatakan dalam surat al-A’la : 1-2 dan surat Nuh : 14. Jika kita perhatikan surat Ali Imran : 59, dimana penciptaan Isa seperti proses penciptaan penciptaan Adam, maka dapat menimbulkan pemikiran bila Isa lahir dari yang hidup, yaitu Maryam, maka Adam lahir pula dari sesuatu yang hidup sebelumnya. Dan itu diambil dari kata “tsumma” yang diartikan “ kemudian”, juga dapat bearti suatu proses. Perdebatan tentang apakah adam manusia pertama atau bukan , diciptakan langsung atau melalui suatu proses, tampaknya tidak akan ada ujungnya karena masing-masing akan teguh pada pendiriannya. Jika polemik ini senantiasa diperpanjang, jangan-jangan hanya akan menghabiskan waktu dan tidak sempat lagi memikirkan tentang status dan tugas yang telah ditetapkan Allah pada manusia.

MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH.

Jika ingin memahami informasi tentang kejadian adam tersebut secara mendalam, maka kita perlu melibatkan ahli-ahli kimia, dan biologi, mereka perlu juga di-libatkan, dalam memahami ayat-ayat tersebut dan tidak hanya secara harfiah. Yang perlu di-ingat sekarang adalah manusia oleh Allah, diharapkan menjadi khalifah ( pemilih atau penerus ajaran Allah ). Status manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam al-baqarah 30. kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah. Kebanyakan umat Islam menterjemahkan dengan kata pemimpin atau pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah. Perlu diingat bahwa istilah khalifah pernah dimunculkan Abu bakar pada waktu dipercaya untuk memimpin umat islam. Pada waktu itu beliau mengucapkan inni khalifaur rasulillah, yang berarti aku adalah pelanjut sunah rasulillah. Dalam pidatonya setelah diangkat oleh umat islam, abu bakar antara lain menyatakan “selama saya menaati Allah, maka ikutilah saya, tetapi apabila saya menyimpang , maka luruskanlah saya”. Jika demikian pengertian khalifah, maka tidak setiap manusia mampu menerima atau melaksanakan kekhalifahannya. Hal itu karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang mau memilih ajaran Allah.

Dalam penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa unsur sebagai kelengkapan dalam menunjang tugasnya. Unsur-unsur tersebut ialah :

1) jasad ( al-Anbiya’ : 8, Shad : 34 ).

2) .Ruh (al-Hijr 29, As-Sajadah 9, Al-anbiya’ :91 dan lain-lain);

3) . Nafs (al-Baqarah 48, Ali Imran 185 dan lain-lain ) ;

4) .Aqal ( al-Baqarah 76, al-Anfal 22, al-Mulk 10 dan lain-lain); dan

5) .Qolb ( Ali Imran 159, Al-Ara’f 179, Shaffat 84 dan lain-lain ).

Jasad adalah bentuk lahiriah manusia, Ruh adalah daya hidup, Nafs adalah jiwa , Aqal adalah daya fakir, dan Qolb adalah daya rasa. Di samping itu manusia juga disertai dengan sifat-sifat yang negatif seperti lemah ( an-Nisa 28 ), suka berkeluh kesah ( al-Ma’arif 19 ), suka bernuat zalim dan ingkar ( ibrahim 34), suka membantah ( al-kahfi 54 ), suka melampaui batas ( al-‘Alaq 6 ) suka terburu nafsu ( al-Isra 11 ) dan lain sebagainya. Hal itu semua merupakan produk dari nafs , sedang yang dapat mengendalikan kecenderungan negatif adalah aqal dan qolb. Tetapi jika hanya dengan aqal dan qolb, kecenderungan tersebut belum sepenuhnya dapat terkendali, karena subyektif. Yang dapat mengendalikan adalah wahyu, yaitu ilmu yang obyektif dari Allah. Kemampuan seseorang untuk dapat menetralisasi kecenderungan negatif tersebut ( karena tidak mungkin dihilangkan sama sekali ) ditentukan oleh kemauan dan kemampuan dalam menyerap dan membudayakan wahyu.

Berdasarkan ungkapan pada surat al-Baqarah 30 terlihat suatu gambaran bahwa Adam bukanlah manusia pertama, tetapi ia khalifah pertama. Dalam ayat tersebut, kata yang dipakai adalah jaa’ilun dan bukan khaaliqun. Kata khalaqa mengarah pada penciptaan sesuatu yang baru, sedang kata ja’ala mengarah pada sesuatu yang bukan baru,dengan arti kata “ memberi bentuk baru”. Pemahaman seperti ini konsisten dengan ungkapan malaikat yang menyatakan “ apakah engkau akan menjadikan di bumi mereka yang merusak alam dan bertumpah darah?” ungkapan malaikat tersebut memberi pengertian bahwa sebelum adam diciptakan, malaikat melihat ada makhluk dan jenis makhluk yang dilihat adalah jenis yang selalu merusak alam dan bertumpah darah. Adanya pengertian seperti itu dimungkinkan, karena malaikat tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan, sebab yang tahu apa yang akan terjadi dimasa depan hanya Allah.

Dengan demikian al-Quran tidak berbicara tentang proses penciptaan manusia pertama. Yang dibicarakan secara terinci namun dalam ungkapan yang tersebar adalah proses terciptanya manusia dari tanah, saripati makanan, air yang kotor yang keluar dari tulang sulbi, alaqah, berkembang menjadi mudgah, ditiupkannya ruh, kemudian lahir ke dunia setelah berproses dalam rahim ibu. Ayat berserak, tetapi dengan bantuan ilmu pengetahuan dapat dipahami urutannya. Dengan demikian, pemahaman ayat akan lebih sempurna jika ditunjang dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena al-Quran tidak bicara tentang manusia pertama. Biarkanlah para saintis berbicara tentang asal-usul manusia dengan usaha pembuktian yang berdasarkan penemuan fosil. Semua itu bersifat sekedar pengayaan saint untuk menambah wawasan pendekatan diri pada Allah. Hasil pembuktian para saintis hanya bersifat relatif dan pada suatu saat dapat disanggah kembali, jika ada penemuan baru. Misalnya, mungkinkah penemuan baru itu dilakukan oleh ulama islam? Persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain Dibanding makhluk lainnya manusai mempunyai kelebihan-kelebihan. Kelebihan-kelebihan itu membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik didarat, dilaut, maupun diudara. Sedangkan binatang bergerak diruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang bergerak didarat dan dilaut, namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa melampaui manusia. Mengenai kelebihan manusia atas makhluk lain dijelaskan surat al-Isra’ ayat 70.

Disamping itu, manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat memahami ilmu yang diturunkan Allah, berupa al-Quran menurut sunah rasul. Dengan ilmu manusia mampu berbudaya. Allah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya (at-Tiin : 95:4). Namun demikian, manusia akan tetap bermartabat mulia kalau mereka sebagai khalifah ( makhluk alternatif ) tetap hidup dengan ajaran Allah ( QS. Al-An’am : 165 ). Karena ilmunya itulah manusia dilebihkan ( bisa dibedakan ) dengan makhluk lainnya.
Jika manusia hidup dengn ilmu selain ilmu Allah, manusia tidak bermartabat lagi. Dalam keadaan demikian manusia disamakan dengan binatang, “mereka itu seperti binatang ( ulaaika kal an’aam ), bahkan lebih buruk dari binatang ( bal hum adhal ). Dalam keadaan demikian manusia bermartabat rendah ( at-Tiin : 4 ).

Pembahasan.

Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak
ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat
semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat
diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu
sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan
diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan
dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga
sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan
seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.

Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat ditawar, dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam
bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu
dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah
barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama,
begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai
sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan
yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena
keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas. .

Konsep manusia

Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :

Pertama yaitu Teori Evolusi. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Perancis J.B deLamarck yang menyatakan bahwa kehidupan berkembang dari
tumbuh – tumbuhan menuju binatang dan dari binatang menuju manusia. Teori ini
merupakan perubahan atau perkembangan secara berlahan – lahan dari tidak
sempurna menjadi perubahan yang sempurna.

Kedua yaitu Teori Revolusi. Teori revolusi ini merupakan perubahan yang amat cepat bahkan mungkin dari tidak ada menjadi ada. Teori ini sebenarnya merupakan kata lain untuk menanamkan pandangan pencipta dengan kuasa Tuhan atas makhluk-Nya. Pandangan ini gabungan pemikiran dari umat manusia yang berbeda keyakinan yaitu umat Kristen dan umat Islam tentang proses kejadian manusia yang dihubungkan dengan keMaha Kuasaan Tuhan.

Dalam Ajaran Kristen dijumpai kisah kejadian manusia dalam surat Kejadian 1-11 dan 12-50 tentang kisah oleh Martinus dalam “ Bagaimana Agama Kristen Memandang teori Darwin “. Dalam ajaran Islam terbentuk opini dan tidak berlebihan jika dikatakan sebagai
keyakinan, bahwa manusia dan juga alam semesta tercipta secara cepat oleh Kuasa
Allah.Keyakinan tersebut merupakan hasil interpretasi dari ayat – ayat Al-Quran
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 yang menjelaskan tetntang kejadian Adam yaitu “ Adam adalah suatu makhluk yang diciptakan dari tanah yang diambil dari berbagai jenis yang kemudian dicampur dengan air, dibentuk dan ditiupkan ruh kedalamnya, dan kemudian menjadi makhluk hidup”,serta Yasin ayat 82 yang berbunyi kun fayakundengan arti “ jadilah maka terjadilah dia ”.

Ketiga : yaitu Teori Evolusi Terbatas. Teori ini adalah gabungan pemikiran dari pihak-pihak agama yang berlandaskan dengan alasan-alasan serta pembuktian dari pihak sarjana penganut teori evolusi. Seperti yang dikemukakan oleh FransDahler, yang mengakui bahwa tumbuh-tumbahan, binatang, dan manusia selama ribuan atau jutaan tahun yang benar-benar mengalami mutasi (perubahan) yang tidak sedikit.

Menurut RHA. Syahirul Alim cendekiawan Muslim ahli kimia menyatakan bahwa kita sebagai manusia harus merasa terhormat kalau diciptakan dari keturunan kera karena secara kimia molekul-molekul kera jauh lebih kompleks dibandingkan dengan tanah, karena tanah molekulnya lebih rendah keteraturannya. Menurut Al-Syaibani manusia dikelompokkan menjadi delapan definisi,antara lain :

  1. Manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia dimuka bumi
  2. Manusia sebagai khalifah dimuka bumi.
  3. Insan manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa.
  4. Insan yang mempunyai tiga dimensi yaitu badan, akal, dan ruh
  5. Insan dengan seluruh perwatakannya dan ciri pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua factor, yaitu faktor warisan dan lingkungan.
  6. Manusia mempunyai motivasi, kecenderungan,
  7. Kebutuhan manusia diwarisi maupun yang diperoleh dalam proses sosialisasi.
  8. Manusia mempunyai perbedaan sifat antara yang satu dengan yang lainnya.

Manusia Dalam pandangan islam

Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujizat. Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab:
72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat
mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur
dan taqwa (asy-Syams: 8). Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah
untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah
ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
(al-Baqarah: 30)

Pada ayat lain ALLAH berfirman “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari
makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya,
seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan
kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu
taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan
memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan
akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih
nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah
para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai
dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk
melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia
tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya
seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.

Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan
dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus
kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam
beriman dan dusta dalam beragama.

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).
Oleh karena itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan kehendak-kehendak ilahiah dalam setiap misi dan risalah yang diembannya.

1.Misi Manusia. Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: 1). misi utama 2). misi fungsional dan 3). misi operasional.

A. Misi Utama

Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut:45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.

Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari
ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).

Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat
dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan
kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang
tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan,
dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka)
yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini
dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)

• Sabiqun bil khairat

Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas
melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia
terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah
digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang
jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif.
Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya
bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan,
dan kepasrahan kepada Allah SWT.

• Muqtashidun

Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya,tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah
ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi
benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang
dimakruhkan.

• Dzalimun linafsihi

Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih
sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada
dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih
dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang
mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat
mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali
al-Mawardy) Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah
SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan
melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai
kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah
‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah
‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’,
al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah
manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah
berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat
Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah
komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari
nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60,
al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)

Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkn menimpa kamu. Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena, yang pertama akan
menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua
mengakibatkan lupa akan akhirat.” Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.”Sebagian ahli hikmah yang lain berkata,“Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim
.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)

B. Misi Fungsional . Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di
atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus
kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah
‘kekuasaan’,syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahamiah ‘binatang ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah)

Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan
kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh
Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk
menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).

Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah,
maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan
menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan
sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat
dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.

C.Misi Operasional

Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai khalifah, juga
harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di
dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu
apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah
mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk
manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi
(ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari
manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana
disebutkan di bawah ini. Syukur (Luqman: 31) Sabar (Ibrahim: 5) Mempunyai belas kasih (at-Taubah: 128)Santun (at-Taubah: 114)Taubat (Huud: 75) Jujur (Maryam: 54)
Terpercaya (al-A’raaf: 18)

Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan
menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya,
diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya.
Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan
panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup
mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan
seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah
sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini

Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :

· Pertama yaitu Teori Evolusi.

· Kedua yaitu Teori Revolusi

· Ketiga yaitu Teori Evolusi Terbatas.

Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai
makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujizat.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat
insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab:
72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat
mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur
dan taqwa (asy-Syams: 8).

Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang
telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan
kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya
harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya
dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan
apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap
sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang
telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang
ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam
mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk
menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya. Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis. Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini. Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengeneai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.

Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.

Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.

Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.

Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi. dari ensklopedi Islam terbitan ikhtiar baru van hoeve

A.Manusia sebagai Mahluk Sempurna

Pada hakekatnya manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai mahluk yang sempurna di antara mahluk-mahluk Allah lainnya. Manusia diberi begitu banyak keistimewaan di antaranya bentuk fisik yang indah, kedudukan yang jauh lebih baik, dan yang paling berbeda yaitu akal pikiran. Akal dapat digunakan untuk berpikir dan membedakan mana yang baik dan yang buruk. Manusia sebagai insan kamil haruslah mempunyai kepribadian dan ahlak yang baik. Pemuliaan Allah SWT kepada manusia berkaitan dengan penciptaannya seperti diterangkan Allah dalam firmanNya:

Artinya: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya
Fitrah manusia meliputi: hanif, potensi akal, qaib, nafsu. Fitrah adalh kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada kebenaran. Fitrah tidak hanya diartikan sebagai penciptaan fisik, melainkan juga dalam arti rihaniah yaitu sifat-sifat dasar manusiayang baik. Hanif (kecenderungan kepada kebaikan) yang terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke muka bumi. Manusia memiliki potensi baik sejak kelahirannya. Potensi itu meliputi: potensi jasmani (fisik), ruhani (spiritual), dan akal (mind). Ketiga potensi ini akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri. Manusia diberi kebebasan untuk menentukan takdirnya. Semua itu tergantungdari bagaimana mereka memanfaatkan potensi yang melekat dalam dirinya.

Potensi rohaniah berupa akal, qald dan nafsu. Akal adalah pikiran atau rasio dan rasa bias diartikan dengan bijaksana. Qald adalah hakikat manusiayang dapat menangkap segala pengertian berpengetahuan dan arif. Nafsu adalah sesuatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya. Tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan cara melakukan perbuatan apapun asal yang tidak dilarang agama dan diniati ibadah sehingga apapun yang kita kerjakan tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan di dunia tetapi juga kepentingan di akherat jadi tujuan hidup manusia sudah jelas adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat, sebagaimana sering kita ucapkan dalam doa : "Rabbana aatina fiddun-yaa hasanah wafil akhirati hasanah, waqinaa adzabannar". Untuk mendapatkan kebahagiaan dunia telah diuraikan di depan, adalah berusaha untuk menjadi Ahsani Taqwim dan Khalifah fil Ardhi, namun untuk kebahagiaan akherat perlu kita teliti lebih jauh. Seperti dalam surat Adz Dzariyat ayat 56: Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51:56) Dalam islam tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup (penciptaan) manusia. Menempatkan ibadah sebagai tujuan hidup mengandung arti bahwa kita menyerahkan penilaian semua gerak dan kiprah ibadah kita hanya kepada Allah.

Kata kunci : manusia makhluk berakal, buatlah diri anda brmanfaat.

MANUSIA BERKUALITAS MENURUT AL-QUR'AN DAN UPAYA PENDIDIKAN

MANUSIA BERKUALITAS MENURUT AL-QUR'AN DAN UPAYA PENDIDIKAN

Hujair AH. Sanaky

A. Pendahuluan

Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik. Karena selalu

menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam artia tuntas.

Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang

tidak pernah selesai. Selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia (Rif'at

Syauqi Nawawi, 1996 : 1). Manusia merupakan makhluk yang paling

menakjubkan, makhluk yang unik multi dimensi, serba meliputi, sangat terbuka,

dan mempunyai potensi yang agung.

Timbul pertanyaaan siapakah manusia itu? Pertanyaan ini nampaknya

amat sederhana, tetapi tidak mudah memperoleh jawaban yang tepat. Biasanya

orang menjawab pertanyaan tersebut menurut latar belakangnya, jika seseorang

yang menitik beratkan pada kemampuan manusia berpikir, memberi pengertian

manusia adalah "animal rasional", "hayawan nathiq" "hewan berpikir". Orang

yang menitik beratkan pada pembawaan kodrat manusia hidup bermasyarakat,

memberi pengertian manusia adalah "zoom politicon", "homo socius", "makhluk

sosial". Orang yang menitik beratkan pada adanya usaha manusia untuk

mencukupi kebutuhan hidup, memberi pengertian manusia adalah "homo

economicus", "makhluk ekonomi". Orang yang menitik beratkan pada

keistimewaan manusia menggunakan simbul-simbul, memberi pengertian

manusia adalah "animal symbolicum". Orang yang memandang manusia adalah

makhluk yang selalu membuat bentuk-bentuk baru dari bahan-bahan alam untuk

mencukupkan kebutuhan hidupnya, memberi pengertian manusia adalah "homo

faber", [Ahmad Azhar Basyir, 1984 : 7] dan seterusnya.

Al-Qur'an, mendudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah berupa

jasmani dan rohani. Al-Qur'an memberi acuan konseptual yang sangat mapan

dalam memberi pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani agar manusia berkembang secara wajar dan baik. Al-Qur'an memberi keterangan tentang

manusia dari banyak seginya, untuk menjawab pertanyaan siapakan manusia

itu?. Dari ayat-ayat Qur’an tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah

makhluk fungsional yang bertanggungjawab, pada surat al-Mu'minun ayat 115

Allah bertanya kepada manusia sebagai berikut : "Apakah kamu mengira

bahwa kami menciptakan kamu sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan

dikembalikan kepada Kami?"

Dari ayat ini, menurut Ahmad Azhar Basyir, terdapat tiga penegasan Allah

yaitu [1] manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, [2] manusia diciptakan tidak

sia-sia, tetapi berfungsi, dan [3] manusia akhirnya akan dikembalikan kepada

Tuhan, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang dilakukan pada

waktu hidup di dunia ini, dan perbuatan itu tidak lain adalah realisasi daripada

fungsi manusia itu sendiri.

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk berpribadi, sebagai makhluk

yang hidup bersama-sama dengan orang lain, sebagai makhluk yang hidup di

tengah-tengah alam dan sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh oleh Allah.

Manusia sebagai makhluk berpribadi, mempunyai fungsi terhadap diri pribadinya.

Manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai fungsi terhadap masyarakat.

Manusia sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam, berfungsi terhadap

alam. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh, berfungsi terhadap

yang menciptakan dan yang mengasuhnya. Selain itu manusia sebagai makhluk

pribadi terdiri dari kesatuan tiga unsur yaitu : unsur perasaan, unsur akal, dan

unsur jasmani [Ahmad Azhar Basyir, 1984 : 7-8].

Untuk mengaktualisasikan potensi di atas, dibutuhkan kemampuan dan

kualitas manusia yaitu kualitas iman, kualitas ilmu pengetahuan, dan kualitas

amal saleh untuk mampu mengolah dan mengfungsikan potensi yang diberikan

Allah kepada manusia tersebut. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan

di atas, maka makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan manusia

berkualitas menurut al-Qur'an, dengan menyoroti konsep manusia, fungsi

manusia, dan manusia berkualitas menurut al-Qur'an. B. Konsep Manusia dalam al-Qur'an

Dalam al-Qur'an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti

manusia, yaitu kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan dalam alQur'an dipakai untuk manusia yang tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk

jamaaknya dipakai kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai

untuk tunggal dan jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya

dan anasa, maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu

pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran

penalaran [Musa Asy'arie, 1992 : 22]. Kata insan digunakan al-Qur'an untuk

menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.

Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat

perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan [M.Quraish Shihab, 1996 : 280].

Kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk

adanya kaitan dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap

seseuatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut.

Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa sesuatu kewajiban yang

seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan

kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang

yang sengaja lupa terhadap sesuatu kewajiban. Sedangkan kata insan untuk

penyebutan manusia yang terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti

jinak dan harmonis, (Musa Asy'arie, 1996 : 20) karena manusia pada dasarnya

dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia

mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk dapat menyesuaikan

diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial

maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan

sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar baik secara sosial maupun

alamiah.

Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun

perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata

basyarah yang berarti kulit. "Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak

jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain". Al-Qur'an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk

mutsanna [dual] untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriyahnya serta

persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad SAW

diperintahkan untuk menyampaikan bahwa "Aku adalah basyar (manusia) seperti

kamu yang diberi wahyu [QS. al-Kahf (18): 110]. Di sisi lain diamati bahwa

banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menggunakan kata basyar yang

mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui

tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan. Firman allah [QS.alRum (3) : 20] "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan

kamu dari tanah, ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran". Bertebaran di

sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran

mencari rezki [M.Quraish Shihab,1996 : 279].

Penggunaan kata basyar di sini "dikaitkan dengan kedewasaan dalam

kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab. Dan

karena itupula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar [perhatikan QS alHijr (15) : 28], yang menggunakan kata basyar, dan QS. al-Baqarah (2) : 30

yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan

Allah kepada malaikat tentang manusia [M.Quraish Shihab,1996 : 280]. Musa

Asy'arie [1996 : 21], mengatakan bahwa manusia dalam pengertian basyar

tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya

tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian

insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya

tergantung pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap

hidupnya. Untuk itu, pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut

manusia mempunyai pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk

pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk

menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada

umumnya, makan, minum dan mati.

Dari pengertian insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang

dibekali Allah dengan potensi fisik maupun psihis yang memiliki potensi untuk

berkembang. Al-Qur'an berulangkali mengangkat derajat manusia dan berulangkali pula merendahkan derajat manusia. Manusia dinobatkan jauh

mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Allah juga

menetapkan bahwa manusia dijadikan-Nya sebagai makhluk yang paling

sempurna keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain [Q.S.95 :4].

Allah sendirilah yang menciptakan manusia yang proporsional [adil] susunannya

[Q.S.82:7]. Abdurrahman An-Nahlawi [1995], mengatakan manusia menurut

pandangan Islam meliputi : [1] Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan,

artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau

tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya [QS..al-Isro: 70

dan al-Hajj : 65]. [2] Manusia sebagai makhluk istimewa dan terpili. Salah satu

anugrah Allah yang diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia

mampu membedakan kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari

ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan

kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu

memilih jalan yang menjerumuskannya pada kebinasaan. Dengan jelas Allah

menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan,

mengembangkan dan meninggalkan diri agar manusia terangkat dalam

keutamaan [Q.S.as-Syam: 7-10]. [3] Manusia sebagai makhluk yang dapat

dididik. Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan untuk belajar,

dalam surat al-Alaq : 3 dan 5, Allah telah menganugrahi manusia sarana untuk

belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan kelengkapan sarana

belajar tersebut, Allah selalu bertanya kepada manusia dalan firman-Nya "afala

ta'kilun", “afala tata fakkarun", dan lain-lain pertanyaan Allah kepada manusia

yang menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk belajar.

Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan,

sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan

semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan,

bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta;

serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit dan bumi. Manusia dipusakai

dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak

ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis

mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya

[Rif'at Syauqi Nawawi, 2000 : 11].

Selain itu, al-Qur'an juga menyebutkan sifat-sifat kelemahan dari manusia.

Manusia banyak dicela, manusia dinyatakan luar biasa keji dan bodoh. Qur'an

mencela manusia disebabkan kelalaian manusia akan kemanusiaannya,

kesalahan manusia dalam mempersepsi dirinya, dan kebodohan manusia dalam

memanfaatkan potensi fitrahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.

Manusia dicela karena kebanyakan dari mereka tidak mau melihat kebelakang

(al'aqiba), tidak mau memahami atau tidak mencoba untuk memahami tujuan

hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan bersedia menerima

amanah. Manusia tidak mampu memikul amanah yang diberikan Allah

kepadanya, maka manusia bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan dan

binatang buas sekalipun - derajat manusia direndahkan - Firman Allah QS. alAhzab : 72 :

"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan

gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka

khawatirkan menghianatinya, dan dipukullah amanat itu oleh manusia.

Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh".

Selanjutnya dalam firman Allah : QS. at-Tiin (95) : 5-6 : "Kemudian Kami

[Allah] kembalikan dia [manusia] ke kondisi paling rendah", kecuali mereka yang

beriman kepada Allah dan beramal saleh". Selain itu al-Qur'an juga mengingat

manusia yang tidak menggunakan potensi hati, potensi mata, potensi telinga,

untuk melihat dan mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah. Pernyataan ini

ditegaskan dalam firman Allah QS. al-A'raf : 179 sebagai berikut :

"Sesungguhnya Kami Jadikan untuk [isi neraka Jahanam] kebanyakan dari jin

dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk

memahami [ayat-ayat Allah] dan mereka mempunyai mata [tetapi] tidak

dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka

mempunyai telinga [tetapi] tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayatayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.

Mereka itulah orang-orang yang lalai".

Untuk itu, manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling

canggih, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dengan baik, yaitu

mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah, menguasai ilmu pengetahuan,

dan melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia akan menjadi makhluk yang

paling mulia dan makhluk yang berkualitas di muka bumi ini seseuai dengan

rekayasa fitrahnya.

C. Fungsi Manusia Menurut al-Qur'an

Dalam al-Qur'an, manusia berulang kali diangkat derajatnya karena

aktualisasi jiwanya secara posetif. Al-Qur'an mengatakan bahwa manusia itu

pada prinsipnya condong kepada kebenaran (hanief) sebagai fitrah dasar

manusia. Allah menciptakan manusia dengan potensi kecenderungan, yaitu

cenderung kepada kebenaran, cenderung kepada kebaikan, cenderung kepada

keindahan, cenderung kepada kemulian, dan cenderung kepada kesucian.

Firman Allah [QS. ar-Ruum (30) : 30], sebagai berikut :

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas

fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada

perubahan pada fitrah Allah. [Itulah] agama yang lurus, tetapi kebanyakan

manusia tidak mengetahui" [ QS. 30 : 30].

Manusia juga diciptakan sebagai makhluk berpribadi yang memiliki tiga

unsur padanya, yaitu unsur perasaan, unsur akal (intelektua), dan unsur jasmani. Ketiga unsur ini berjalan secara seimbang dan saling terkait antara satu unsur

dengan unsur yang lain. William Stren, mengatakan bahwa manusia adalah

Unitas yaitu jiwa dan raga merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan

dalam bentuk dan perbuatan. jika jiwa terpisah dari raga, maka sebutan manusia

tidak dapat dipakai dalam arti manusia yang hidup. Jika manusia berbuat, bukan

hanya raganya saja yang berbuat atau jiwanya saja, melainkan keduanya

sekaligus. Secara lahiriyah memang raganya yang berbuat yang tampak

melakukan perbuatan, tetapi perbuatan raga ini didorong dan dikendalikan oleh

jiwa [Sukirin, 1981 : 17-18].

Jadi unsur yang terdapat dalam diri pribadi manusia yaitu rasa, akal, dan

badan harus berjalan seimbang, apabila tidak maka manusia akan berjalan

pincang. Sebagai contoh : apabila manusia yang hanya menitik beratkan pada

memenuhi fungsi perasaannya saja, maka ia akan terjerumus dan tergelan

dalam kehidupan spritualistis saja, fungsi akal dan kepentingan jasmani menjadi

tidak penting. Apabila manusia hanya menitik beratkan pada fungsi akal

[intelektual] saja, akan terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan yang

rasionalistis, yaitu hanya hal-hal yang dapat diterima oleh akal itulah yang dapat

diterima kebenarannya. Hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal, merupakan

hal yang tidak benar. Sedangkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang

irasional hanya dapat dinilai sebagai hasil lamunan [ilusi] semata-mata. Selain

perhatian yang terlalu dikonsentrasikan pada hal-hal atau kebutuhan jasmani

atau badaniah, cenderung kearah kehidupan yang meterialistis dan positivistis.

Maka Al-Qur'an memberikan hudan kepada manusia, yaitu mengajarkan agar

adanya keseimbangan antara unsur-unsur tersebut, yaitu unsur perasaan

terpenuhi kebutuhannya, unsur akal juga terpenuhi kebutuhannya, demikian juga

unsur jasmani terpenuhi kebutuhannya [Ahmad Azhar Basyir, 1984 : 8].

Berbicara tentang fungsi manusia menurut al-Qur'an, apabila

memperhatikan surah al-Mukminun : ayat 115 yang dikemukan pada

pendahuluan di atas, dapat ditemukan dalam konteks ayat tersebut, bahwa

"manusia adalah makhluk fungsional dan bertanggungjawab". Artinya manusia

berfungsi terhadap diri pribadinya, berfungsi terhadap masyarakat, berfungsi terhadap lingkungan, dan berfungsi terhadap Allah Sang Pencipta Manusia.

Fungsi manusia dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Fungsi Manusia Terhadap Diri Pribadi

Manusia pribadi terdiri dari kesatuan unsur jasmani dan rohani, unsur

rohani terdiri dari cipta (akal), rasa dan karsa. Unsur yang ada pada diri pribadi

manusia merupakan kesatuan, meskipun masing-masing berbeda, tetapi tidak

dapat dipisahkan satu dari yang lain. Unsur "cipta (akal) meliputi pengamatan,

ingatan, pikiran dan sebagainya. Unsur rasa terdiri dari perasaan jasmani

meliputi sakit, enak, lapar, kenyang, dan sebagainya. Perasaan rohani meliputi

perasaan keindahan, kesusilaan, keagamaan, sosial, harga diri, dan keilmuan.

Unsur karsa terdiri dari kemauan, cita-cita, keinginan, refleks, instink dan

sebagainya (Sukirin, 1981 : 20). Dengan mengetahui unsur tersebut, jika ingin

memahami tingkah laku manusia, harus melihat atau meninjaunya secara total,

karena manusia merupakan suatu kesatuan jiwa dan raganya; tingkah laku atau

perbuatannya adalah pencerminan dari kegiatan jiwa dan raganya.

Fungsi manusia terhadap diri pribadi yaitu memenuhi kebutuhankebutuhan unsur-unsur tersebut secara menyeluruh agar kebutuhan pribadi tetap

terjaga. Unsur jasmani yang memerlukan makan-minum, pakaian, tempat

tinggal, kesehatan dan sebagainya dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Akal yang

merupakan salah satu segi unsur rohani kita bertabiat suka berpikir. Tabiat suka

berpikir akan dipenuhi dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang berguna

bagi hidup manusia. Rasa yang juga merupakan salah satu segi unsur rohani

yang selalu merindukan keindahan, kebenaran, keadilan dan sebagainya itu kita

penuhi pula kebutuhannya dengan berbagai keseniaan yang sehat, hidup

dengan pedoman yang benar, berlaku adil dan sebagainya [Ahmad Azhar

Basyir, 1985 : 4]. Perasaan yang rindu kepada kebaikan diisi dengan nilai-nilai

moral, perasaan yang rindu kepada keindahan diisi dengan nilai-nilai senibudaya, perasaan yang rindu kepada kemuliaan diisi dengan taqwa, perasaan

yang rindu kepada kesucian diisi dengan usaha-usaha meninggalkan sifat-sifat

tercela, seperti dengki, takabbur, aniaya dan sebagainya (Ahmad Azhar Basyir,

1984 : 8), kebutuhan tersebut dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Kehendak yang merupakan unsur rohani terpenting bagi manusia dalam

usaha meningkatkan hidup dan kehidupannya harus selalu dihidupkan, jangan

jangan sampai terjangkit penyakit malas yang akan mematikan unsur kehendak

manusia. Kematian kehendak berarti kematian makna hidup bagi manusia. Suka

menangguhkan pekerjaan yang semistinya dapat dan sempat diselesaikan

segera akan mengakibatkan kemalasan, yang berarti kemalasan kehendak

[Ahmad Azhar Basyir, 1985 : 5].

Dalam memenuhi unsur-unsur jasmani dan rohani, harus dijaga jangan

sampai terjadi saling bertentangan satu dengan lainnya. Pertentangan yang

terjadi dalam diri manusia akan mengakibatkan kegoncangan-kegoncangan,

akhirnya manusia akan stres, labil, tidak tenang. Apabila sudah terjadi stres,

labil, dan tidak tenang pada diri manusia, maka manusia akan mencoba mencari

jalan keluar untuk mengobati dirinya, dan kadang-kadang alternatif

pengobatannya tidak sesuai dengan norma-norma ajaran agama.

2. Fungsi Manusia Terhadap Masyarakat

Manusia sebagai makhluk sosial berfungsi terhadap masyarakatnya.

Fungsi manusia terhadap masyarakat ditegakan atas dasar rasa yang tertanam

dalam bahwa umat manusia merupakan keluarga besar, berasal dari satu

keturunan Adam dan Hawa, dan dijadikan Allah berbangsa-bangsa dan bersukusuku agar mereka saling interaksi untuk saling mengenal, tolong menolong dalan

berbuat kebaikan dan bertaqwa. Antara sesama manusia tidak terdapat

perbedaan tinggi rendah martabat kemanusiaannya. Perbedaannya martabat

manusia hanyalah terletak pada aktivitas amal perbuatannya dan rasa

ketaqwaan kepada Allah. Firman Allah, QS. al-Hujarat : 13, Allah mengajarkan

kepada manusia sebagai berikut :

"Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan, dan telah kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara

kamu di hadirat Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [QS.al-Hujarat: 13].

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa manusia adalah makhluk individual,

makhluk relegius, dan makhluk sosial. "Sebagai makhluk individual manusia

mempunyai dorongan untuk kepentingan pribadi, sebagai makhluk relegi

manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan kekuatan

di luarnya [Allah], adanya hubungan yang bersifat vertikal, dan sebagai makhluk

sosial manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan manusia yang

laiannya", ...maka kemudian terbentuklah kelompok-kelompok masyarakat [Bimo

Walgito, 1987 : 41].

Fungsi manusia terhadap masyarakat terbangun atas dasar sifat sosial

yang dimiliki manusia, yaitu adanya kesedian untuk selalu melakukan interaksi

dengan sesamanya. Ditegaskan dalam al-Qur'an bahwa manusia selalu

mengadakan hubungan dengan Tuhannya dan juga mengadakan hubungan

dengan sesama manusia. Kesedian untuk memperhatikan kepentingan orang

lain, dalam hal ini adalah tolong menolong. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur'an

surat al-Maidah ayat 2, sebagai berikut :

"Dan tolong menolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan

taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".

3. Fungsi Manusia Terhadap Alam dan Lingkungan

Fungsi manusia terhadap alam adalah bagaimana manusia

memanfaatkan potensi alam untuk mencukupkan kebutuhan hidup manusia.

Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menegaskan bahwa segala sesuatu di langit

dan dibumi ditundukan Allah kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup

manusia sendiri [QS.al-Jatsiyah:13]. Laut, sungai, matahari, bulan, siang dan

malam dijadikan sebagai sarana kemakmuran hidup manusia [QS. Ibrahim : 32-

34]; binatang ternak diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia

[QS. an-Nahl : 5] ; laut ditundukkan kepada manusia sebagai sarana komunikasi dan untuk digali dan dimanfaatkan kekayaannya [QS. Fathir:12 dan an-Nahl:14]

[Ahmad Azhar Basyir, 1988 : 40].

Manusia berkewajiban mengolah dan menjaga potensi alam untuk

memenuhi kebutuhan hidup manusia merupakan tuntutan fungsi manusia

terhadap alam. Oleh karena, dalam mengolah potensi alam yang diberikan Allah

kepada manusia merupakan fardhu kifayah, karena tidak semua manusia

mempunyai kemampuan untuk menggali potensi alam yang diberikan tersebut.

Untuk itu apabila manusia menyia-nyiakan potensi alam artinya tidak

dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia berarti mengabaikan

fungsi manusia terhadap alamnya.

Dalam memenuhi fungsi manusia terhadap alam, hendaknya selalu

diusahakan agar keselamatan manusia tidak terganggu. Tidak memanfaatkan

potensi alam secara berlebih-lebihan, agar generasi mendatang masih dapat

menikmatinya, karena potensi alam terbatas [Ahmad Azhar Basyir, 1985 : 16].

Apabila berlaku belebih-lebihan, tamak, rakus, dalam menanfaatkan potensi

alam akan berakibat kerusakan pada manusia itu sendiri. Dalam hubungan ini,

Allah memperingatkan manusia [QS. Ruum : 41] bahwa, "Kerusakan di darat

dan laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri; Allah merasakan

kepada mereka sebagai [akibat] perbuatan mereka, supaya mereka kembali ke

jalan yang benar". Berdasarkan ayat ini, maka pemanfaatan potensi alam untuk

kepentingan manusia sekarang, harus memperhatikan kepentingan generasi

mendatang, dengan berusaha menjaga, melestarikan potensi alam tersebut.

4. Fungsi Manusia Terhadap Allah

Fungsi manusia terhadap Allah ditegaskan dalam al-Qur'an surat adzDzariyat ayat 56, sebagai berikut :

"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah

kepada-Ku". Dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 21, Allah memerintahkan manusia

untuk beribadah, sebagai berikut :

"Hai manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan

kamu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa".

Dengan demikian, beribadah kepada Allah yang menjadi fungsi manusia

terhadap Allah baik dalam bentuknya umum maupun dalam bentuk khusus.

Ibadah dalam bentuk umum ialah melaksanakan hidup sesuai ketentuanketentuan Allah, sebagaimana diajarkan al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Ibadah

dalam pengertiam umum mencakup segala macam perbuatan, tindakan dan

sikap manusia dalam hidup sehari-hari. Sedangkan ibadah dalam bentuk khusus

(mahdhah) yaitu berbagai macam pengabdian kepada Allah yang cara

melakukannya sesuai dengan ketentuan syara'.

Dalam bidang 'aqidah, fungsi manusia terhadap Allah adalah meyakini

bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah. Bertuhan kepada

selain Allah berarti suatu penyimpangan dari fungsi manusia terhadap Allah.

Bertuhan kepada Allah adalah sesuai sifat dasar manusia yaitu sifat relegius,

tetapi sifat "hanief" yang ada pada manusia membuat manusia harus condong

kepada kebenaran yaitu mentauhidkan Allah.

D. Manusia Berkualitas Menurut al-Qur'an

Berbagai konsep dilontarkan orang tentang hakikat manusia. Manusia

dikatakan sebagai makhluk yang pandai menciptakan bahasa untuk menyatakan

fikiran dan perasaan, sebagai makhluk yang mampu membuat alat-alat, sebagai

makhluk yang dapat berorganisasi sehingga mampu memanfaatkan lingkungan

untuk kepentingan manusia, sebagai makhluk yang suka bermain, dan sebagai

makhluk yang beragama. Dalam al-Qur'an, manusia berulangkali diangangkat

derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara posetif, al-Qur'an mengatakan

manusia itu "hanief" yaitu condong kepada kebenaran, mentauhidkan Tuhan,

dan nilai-nilai luhur lainnya.

Yang banyak dibicarakan al-Qur'an tentang manusia adalah sifat-sifat dan

potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat al-Qur'an yang dengan terang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya

manusia dalam bentuk dan keadaan sebaik-baiknya (QS. at-Tiin (95) : 5) dan

penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibandingkan dengan

kebanyakan makhluk-makhluk Tuhan yang lain (QS. al-Isra (17) : 70). Tetapi, di

samping itu, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat lalim

(aniaya) dan mengingkari nikmat (QS. Ibrahim (14) : 34) (Rif'at Syauqi Nawawi,

2000 : 8).

Apabila ditelusuri konsep-konsep tentang jati diri manusia yang

dikemukakan, maka pertanyaan bagaimanakah konsep manusia berkualitas

menurut al-Qur'an. Pertanyaan ini memang sangat menarik dan menantang.

Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu mengkaji beberapa pendapat

dari tokoh-tokoh Psikologi tentang manusia berkualitas, sebagai berikut : (1)

Karen Horney (1942, seorang ahli Psikologi), mengatakan bahwa "manusia

berkualitas adalah orang yang telah mampu menyeimbangkan dorongandorongan dalam dirinya, sehingga mewujudkan tingkahlaku yang harmonis. Ia

mampu berhubungan dengan lingkungannya, mampu menciptakan suasana

aman dan harmonis. Ia tidak agresif, tidak mengasingkan diri dari lingkungannya,

dan hidupnya tidak pula bergantung pada orang lain". (2) Gordon Allport (1964),

"manusia berkualitas dipandang sebagai orang yang telah menunjukkan

kemampuan untuk memperluas lingkungan hidupnya, menghayati situasi untuk

dapat berkomunikasi dengan hangat, menerima dirinya sebagaimana adanya,

mempersepsi lingkungan secara realistik, memandang dirinya secara obyektif,

serta berpegang pada pandangan hidup secara utuh. Ciri-ciri ini dimiliki oleh

manusia yang telah matang (mature)". (3) Jourard (1980), "manusia berkualitas

adalah manusia sehat yang memiliki ciri (a) membuka diri untuk menerima

gagasan orang lain; (b) peduli terhadap dirinya, sesamanya serta lingkungannya;

(c) kreatif; (d) mampu bekerja yang memberikan hasil (produktif); dan (e) mampu

bercinta". (4) Thomas J. Peters dan Robert H.Waterman, "menamakan manusia

berkualitas dilihat dari keberhasilan menjalankan usaha, adalah orang yang

menampilkan ciri-ciri sebagai berikut : (a) memeiliki kegemaran untuk selalu

berbuat sesuatu, dari pada banyak bertanya; (b) menampilkan hubungan yang erat dengan para rekannya; (c) bersifat otonom dan memperlihatkan

kewiraswastaan; (d) membina kesadaran bahawannya untuk menampilkan

upaya terbaik; (e) memandang penting keuletan dalam menjalankan usaha; (g)

menempatkan orang secara proporsional; dan (h) menggunakan prinsip

pengawasan yang lentur (longgar tapi ketat)".

Masih banyak tokoh lain yang telah mencoba merumuskan karakteristik

manusia berkualitas, berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Manusia

berkualitas itu antara lain dinamakan sebagai integrated personality, healthy

personality, normal personality, dan productive personality [M.D.Dahlan, 1990 :

2-3]. Lebih jauh lagi ditemukan penamaan manusia berkualitas itu sebagai insan

kamil, manusia yang seutuhnya, sempurna, manusia [insane] kaffah, manusia

yang hanief.

Apabila memperhatikan al-Qur'an banyak sekali (tidak kurang dari 91)

ayat yang berbicara tentang kejadian manusia, status manusia, martabat

manusia. kesucian manusia, fitrah manusia, sifat manusia, tuags manusia,

pembinaan manusia, penggangu manusia, kemampuan manusia, perbedaan

manusia, nasib manusia, dan perjalan hidup manusia. Pembicaraan tentang

manusia berkualitas, tersebar di antara ayat-ayat tersebut.

Banyak istilah yang digunakan al-Qur'an dalam menggambarkan manusia

berkualitas atau makhluk yang diciptakan Allah dalam sosok yang paling

canggih, di antaranya kata manusia beriman [al-Hujarat (49 : 14, dll] dan beramal

saleh (QS. at-Tiin (95) : 6, dll), diberi Ilmu (al-Isra (17) : 85, Mujadalah : 11, Fathir

: 28, dll), alim (al-Ankabut (29) : 43, dll), berakal (al-Mulk (67) : 10, dll), manusia

sebagai khalifah (QS.al-Baqarah (2) : 30,dll), jiwa yang tenang (QS. al-Fajr (89) :

27-28, dll), hati yang tenteram (al-Ra'd (30) : 28, dll), kaffah (al-Baqarah (2) : 208,

dll), muttaqin (al-Baqarah (2) : 2, dll), taqwa (al-Baqarah (2) : 183, dll) , mu'minin,

muhsinin, syakirin, muflihin, shalihin, yang kemudian diberi keterangan untuk

mendeskripsikan ciri-cirinya. Istilah-istilah tersebut saling berkaitan dan saling

menerangkan. Jadi, apabila mengambil salah satu istilah dari istilah-istilah yang

digunakan al-Qur'an, maka deskripsinya akan saling melengkapi dan merupakan ciri bagi yang lainnya. Dapat dikatakan bahwa konsep dan karakteristik manusia

berkualitas tidak tunggal, akan tetapi komprehensif dan saling melengkapi.

"Jelaslah bahwa manusia berkualitas hendaknya menampilkan ciri

sebagai hamba Alla yang beriman, sehingga hanya kepada Allah ia bermunajah,

serta memberikan manfaat bagi sesamanya. Sekirannya lebih dalam ditelusuri,

kedua ciri utama itu kita dapatkan pada manusia taqwa, sehingga manusia

berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa"

[M.D.Dahlan,1990:7]. Artinya manusia yang berperilakutawakkal, pemaaf, sabar,

muhsin, mau bersyukur, berusaha meningkatan kualitas amalnya dan mengajak

manusia lain untuk beramal. Untuk itu, keutamaan manusia berpangkal pada

adanya iman kepada Allah dan keimannya diwujudkan dalam perilaku yang

memberi manfaat bagi masyarakat, berilmu pengetahuan, dan beramal saleh.

Djamaludin Ancok [1998:12], mengutip Hartanto [1997], Raka &

Hendroyuwono [1998], ada empat kapital, yaitu kapital intelektual [intelect

capital], kapital sosial [social capital], kapital lembut [soft capital], dan kapital

spritual [spritual capital]. Empat kapital yang dikemukan ini juga menggambar ciri

manusia berkualitas. Maka, karakteristik yang dikemukakan al-Qur'an, menurut

hemat pemakalah menjadi tolak ukur kualitas manusia, karena karakteristik

tersebut diturunkan dari konfigurasi nilai-nilai yang dikemukakan al-Qur'an yang

hadir bersama dengan kelahiran manusia ke dunia, dan menjadi sifat penentu

dalam pembentukan kepribadian manusia, yaitu kualitas iman, ilmu

pengetahuan, kualitas amal saleh, dan kualitas sosial.

1. Kualitas Iman

Keimanan merupakan kebutuhan hidup manusia, menjadi pegangan

keyaninan dan motor penggerak untuk perilaku dan amal (aktivitas kerja)

manusia. Iman sebagai syarat utama dalam mencapai kesempurnaan atau insan

utama, dan merupakan langkah awal untuk menuju keshalihan dan mewujudkan

perilaku, amal saleh dan pengorbanan manusia bagi pengabdian kepada Allah,

karena iman juga sangat terkait dengan amal saleh.

Dalam keadaan beriman, manusia dapat memperlihatkan kualitas

perilaku, kualitas amal salah, dan kualitas sosialnya yaitu ketulusan dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat luas. Manusia akan

berperilaku, bekerja, dan bermasyarakat sesuai dengan fitrah kejadiannya yang

condong kepada hanief. Manusia berkualitas akan berjuang melawan

penindasan, tirani, dan tidak membiarkan kediktatoran atau tindakan sewenangwenang. Karena imam memberikan pula kedamaian jiwa, kedaimaian

berperilaku, dan kedaiaman beramal saleh.

Djamaludin Ancok [1998:15], pada pembahasan kapital spritual,

mengatakan bahwa "semakin tinggi iman dan taqwa seseorang semakin tinggi

pula kepital Intelektual, kapital sosial, dan kapital lembut". Manusia yang beriman

hatinya akan dibimbing Allah, jiwanya menjadi tenang dalam melakukan aktivitas

hidupnya, dalam QS.at-Taghaabun : 11, Allah berfirman : "Siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memimpin hatinya" [QS.64:11].

2. Kualitas Intelektual

Kualitas intelektual sudah menjadi potensi awal manusia, karena ketika

manusia diciptakan, "Allah mengajarkan kepada Adam segala nama benda"

[QS.al-Baqarah (2):31]. Untuk itu, manusia sejak lahir telah memiliki potensi

intelektual, kemudian potensi intelektual ini dikembangkan. Kualitas intelektual

merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk mengolah alam ini.

Rasulullah bersabda "barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian dunia,

dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian akhirat,

dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian keduanya

juga dengan ilmu".

Dalam al-Qur'an surat Mujadalah ayat 11, Allah mengangkat derajat

orang yang memiliki ilmu pengetahuan :

"Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua dan juga

orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat". Kemudian dalam firman Allah QS. Zumar : 9, Allah memberi perbedaan

orang yang berilmu pengetahuan dan orang yang tidak memiliki ilmu

pengetahuan, sebagai berikut :

"Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orangorang yang tidak berimu pengetahuan".

Ilmu pengetahuan dibutuhkan manusia guna menopang kelangsungan

peradabannya, karena manusia diamanatkan Allah untuk mengolah dan

memberdayakan alam ini. Oleh karena itu, ilmu yang dimiliki manusia

menghantarkan manusia ketingkat martabat yang lebih tinggi bila dibandingkan

dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Al-Qur'an, memberikan derajat yang

tinggi bagi manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, dan memberikan

perbedaan yang jelas antara manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan yang

tidak memiliki ilmu pengatahuan.

Perbedaan antara manusia berimu dan tidak berimu dalam al-Qur'an,

memberikan pejalaran bahwa "segala kejadian yang berlangsung, senantiasa

dikembalikan kepada orang-orang yang berilmu pengetahuan (ahlinya), bahkan

martabat mereka itu disusulkan setingkat kemudian sesudah martabat pada nabi

dalam mangkasyafkan hukum Allah Ta'ala" [Muhammad Jamaluddin Alqasimi

Addimasyqi, 1973 : 15]. Djamaludin Ancok [1998:12], mengatakan bahwa

"kapital intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukan peluang

dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan

bahwa kapital intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai

suatu kegiatan". Untuk itu, Ilmu pengetahuan telah menjadikan manusia dengan

berbagai keahlian (ahliha). Tiap keahlian menjadi unsur penyempurna dalam

perakitan kehidupan sosial. Tiap aspek sosial yang tidak dikaji oleh bidang

ilmunya yang sesuai akan menimbulkan usaha yang di luar kontrol nilai sosial,

dan besar kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya ketidakharmonisan

[kerusakan] di bumi. Oleh karena itu, menempatkan ahli dalam suatu bidang

kehidupan tertentu menjadi jaminan keadilan bagi kehidupan kemanusiaan

[Ahmad Muflih Saefuddin,1992 : 6].

3. Kualitas Amal Saleh

Amal saleh adalah pembentukan kualitas manusia, sebab tiap kerja yang

dilakukan setiap saat merupakan ukiran kearah terbentuk kepribadian manusia.

Amal saleh sebagai pengejawantahan iman, maka suatu pekerjaan yang

dilakukan harus memiliki orientasi nilai. Ini berarti sistem keimanan teraktualisasi

melalui kerja amal saleh, karena kerja semacam ini memilik dimensi yang abadi.

Al-Qur'an surat at-Tiin ayat 5-6, menyampaikan bahwa "manusia akan

dikembalikan kekondisi yang paling rendah, kecuali manusia yang beriman dan

mengerjakan amal salah".

Amal saleh merupakan perbuatan yang bernilai bagi manusia, dan itu pula

yang akan dilihat dalam cermin hidupnya. Menurut Ahmad Muflih Saefuddin

[1992:7] bahwa, "amal terwujud di kala mereka memiliki ilmu pengetahuan.

Tanpa ilmu pengetahuan tidak terwujud perbuatan yang memiliki makna bagi

kehidupan manusia. Amal tidak terwujud jika tidak ada sikap percaya dalam

dirinya, karena keraguan tidak dapat mewujudkan perbuatan".

Oleh karena itu, amal perbuatan yang bermakna bagi kehidupan manusia,

baru dapat terwujud apabila sebelumnya ada iman dan ilmu pengetahuan.

Karena dengan beriman memberikan kelapangan terhadap penderitaan,

memberikan kelapangan dalam beramal. Dengan demikian Iman dapat

membentuk kekuatan dalam diri manusia untuk dapat mengubah penderitaan

menjadi kebahagiaan, memberikan semangat kerja. Selain itu, amal saleh juga

terkaitan dengan kualitas ilmu, karena dengan berilmu manusia memiliki

orientasi kesanggupan melakukan perbaikan dan melakukan sesuatu perbuatan

amal untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia.

4. Kualitas Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial berfungsi terhadap masyarakatnya,

artinya memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan dengan orang lain,

karena manusia merupakan keluarga besar, yang berasal dari satu keturunan

Adam dan Hawa. Selain itu, Allah menjadikan manusia dalam berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar mereka saling interaksi untuk saling mengenal dan

tolong menolong dalan berbuat kebaikan dan bertaqwa.

Sifat sosial yang dimiliki manusia sesuai dengan fitrahnya, yaitu adanya

kesedian untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Dalam al-Qur'an,

bahwa "manusia selalu mengadakan hubungan dengan Tuhannya dan juga

mengadakan hubungan dengan sesama manusia". Selain itu dalam al-Qur'an

surat al-Maidah ayat 2 : bahwa manusia dalam melakukan aktivitas sosial sifat

yang terbangun adalah saling "tolong menolong-menolong dalam (mengerjakan)

kebaikan dan taqwa, dan dilarang tolong-menolong dalam berbuat maksiat,

berbuat kejahatan". Maka, kualitas sosial sangat terkait dengan kualitas iman,

ilmu, dan amal selah.

Djamaludin Ancok [1998:13], juga mengatakan bahwa intelektual Kapital

baru akan tumbuh bila masing-masing orang berbagai wawasan. Untuk dapat

berbagi wawasan orang harus membangun jaringan hubungan sosial dengan

orang lainnya. ... Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan

hubungan sosial [social networking] semakin tinggi nilai seseorang. "Kapital

sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam

perbedaan dan menghargai perbedaan [diversity]. Pengakuan dan penghargaan

atas perbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi.

Kemampuan bergaul dengan orang yang berbeda, dan menghargai dan

memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan memberikan kebaikan

buat semua".

Dalam al-Qur'an, mamusia diciptakan dalam berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku agar saling kenal mengal, saling tolong-menolong. Dengan dasar

ini, manusia membangun jaringan silahturrahmi antara sesamanya sesuai

dengan fitrahnya. Karena dengan jaringan silaturrahmi akan memberikan

kebaikan yaitu manusia dapat membangun ukhuawah antar semamanya,

dengan silahturrahim antar semasamanya tercipta atau terbuka peluang-peluang

yang lain, apakah berupa pengalaman, pengetahuan, amal, dan memperkuat

ikatan persaudaraan yang dibangun atas dasar iman untuk menuju muara taqwa. Maka, manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan jaringan sosial,

untuk membangun persaudaraan yang abadi.

E. Upaya Pendidikan Bagi Pemberdayakan Manusia Unggul

Pembicaraan tentang manusia, merupakan kunci yang paling strategis

dalam upaya membangun menuju masyarakat mdani Indonesia. Maka, konsep

dan proses pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, harus dapat melihat

kedudukan manusia sebagai subjek didik yang memiliki potensi untuk

diberdayakan dan dikembangkan. Artinya pendidikan merupakan proses

humanisasi dengan menghargai segala potensi yang dimiliki manusia. Proses

humanisasi dalam pendidikan, dimaksudkan sebagai upaya megembangkan

manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala

potensi [fitrah] yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan [potensi jasmania]

dan diberdayakan [potensi rohaniah] agar dapat berdiri sendiri serta dapat

memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam proses humanisasi, berarti menusia bukan hanya sekedar

memenuhi kebutuhan biologisnya saja, tetapi juga ia harus bertanggungjawab

terhadap dirinya sendiri dan terhadap kesejahteraan masyarakatnya [H.A.R.

Tilaah, Pendidikan, Kebudayaan, dan…, hlm. 171. ]. Maka dalam konteks ini,

“manusia harus belajar untuk bertanggungjawab, mengenal dan menghayati

serta melaksanakan nilai-nilai moral [knowing is doing]., sebab tanpa

tanggungjawab dan melaksanakan nilai-nilai moral tidak mungkin akan tercipta

suatu masyarakat yang aman dan tenteram di mana kepribadian dapat

berkembang” Dalam al-Qur’an, manusia dianggap sebagai makhluk yang .

memiliki potensi yang tidak terbatas, sebagai makhluk Allah yang paling

sempurna [QS. 32: 7], memiliki potensi [fitrah] bawaan [QS.30:30] yang tidak

terbatas, dapat diberdayakan, dapat dididik dan mendidik [melakukan proses

mengajar] sehingga manusia menjadi makhluk terdidik dan unggul dalam

kehidupnya. Proses humanisasi “merupakan proses yang terbuka, di mana manusia

diberdayakan dan dioptimalkan potensi [fitrah] bawaannya sehingga manusia

dapat menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi serta penerapannya

dan penghayatan pada seni serta budaya, dan sebagainya”

Ini berarti, peran dan fungsi pendidikan sangat senteral dalam upaya proses humanisasi tersebut.

Pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, harus dapat meletakkan kedudukan

manusia sebagai subjek dalam proses pembinaan dan pengembangan potensi

[fitrah] bawaannya. Dengan demikian dalam proses humanisasi, sangat

dibutuhkan konsep pendidikan yang betul-betul dapat memberi gambaran yang

komprehensip sebagai solusi dalam upaya memanusiakan manusia [humanisasi]

dengan menekankan keharmonisan hubungan baik sesama manusia,

masyarakat, maupun dengan lingkungan yang didasarkan pada nilai-nilai

normatif ilahiyah.

Pendidikan dalam konsep Islam sebenarnya telah menetapkan dasar dan

bertujuan untuk membangun manusia sebagai insan kamil, yaitu manusia

paripurna, integral, totalitas dalam membangun hidup dan kehidupannya.

Pendidikan Islam, meletakan kedudukan manusia sangat senteral sebagai

subjek didik dalam upaya pembinaan dan pengembangannnya. Proses

pendidikan berusaha untuk “melatih sensibilitas manusia [peserta didik]

sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkahlangkah dan keputusan, begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu

pengetahuan diatur dan didasarkan pada nilai-nilai etika Islam. Mereka akan

terlatih dan secara mental yang sangat disiplin, sehingga pengetahuan yang

dimiliki bukan hanya untuk pemuasan rasa ingin tahu intelektuan atau untuk

manfaat yang sifat duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk rasional,

makhluk yang berbudi, bermoral dan spiritual dalam kehidupannya secara

menyeluruh bagi kesejahteraan masyarakat dan umat manusia

Proses pendidikan harus berupaya mengembangkan manusia agar memiliki

pengetahuan, keterampilan, spritual, dan berpikir rasional, sehingga tumbuh

perilaku manusia yang mencintai demokrasi, perdamaian, hidup selaras, stabil, berbudi dan berbudaya sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial yang hidup

bersama manusia lain dengan tujuan memakmurkan, mengontrol dan mengatur

alam semesta berdasarkan otoritas Tuhan. Artinya proses pendidikan Islam akan

menghasilkan manusia yang beramal ilahiyah dan berilmu ilahiyah sebagai

manusia yang unggul [insan kamil]. Dengan dasar ini, pengembangan konsep

dasar pendidikan Islam harus bersumber dari konsep ilahiyah [ketuhanan],

konsep insaniyah [humanisme] dan konsep lingkungan yang integratif dan

seimbang.

A. Malik Fadjar, menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk

pengemban atau pemegang amanah khalifahan mempunyai potensi yang luar

biasa besarnya, sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia

dalam rangka membangun peradaban yang berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Potensi

[fitrah] bawaan manusia itu, menyangkut dengan potensi ilahiyah [ketuhanan]

dan potensi kehidupan yang dilengkapi dengan hati nurani, akal pikirannya

[cipta], rasa, karsa, serta dilengkapi dengan kemampuan kebebasan. Manusia

juga memiliki kemampuan kebebasan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan

pilihan-pilihannya [taqwa dan fujur] yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai

makhluk individu dan makhluk sosial, makhluk fungsional, makhluk bercirikan

etika-religius, makhluk berbudaya, yang kesemuanya itu merupakan nilai-nilai

yang akan terkonstruksi dalam hidup dan kehidupan manusia itu sendiri.

Manusia sebagi makhluk Tuhan yang memiliki potensi [fitrah] bawaan ini

bersifat integral-holistik. Dengan demikian pengembangan sistem pendidikan

harus berorientasi kepada potensi [fitrah] tersebut, baik menyangkut dengan

potensi ukhrawi dan duniawi sekaligus secara integral. Pengembangan sistem

pendidikan Islam tidak hanya berorientasi kepada persoalah ukhrawi [akhirat]

saja, tetapi harus terintegrasi dengan persoalan-persoalan duniawi, seperti ilmu

pengetahuan, teknologi, seni, budaya, sosial kemasyarakatan, dan sebaginya.

Apabila konsep pendidikan Islam dapat mengintegrasikan persoalan ukhrawi

dengan duniawi, maka konsep pendidikan Islam akan tampil berbeda dengan

konsep pendidikan lainnya, karena secara integratif dapat mengembangkan

pendidikan ukrawiyah dan duniawiyah secara integral sekaligus. Pandangan ini,

didasarkan pada konsep ajaran Islam, bahwa ajaran Islam “tidak menghendaki

penghayatan agama yang mengarah pada pelarian diri dari kehidupan duniawi,

tetapi bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan asketisme duniawi, yaitu

memakmurkan dan memajukan kehidupan dunia, tanpa tenggelam dalam

kenikmatan semu”

Uraian di atas, menegaskan bahwa dalam sistem pendidikan Islam

“manusia dipahami sebagai zat theomorfis, maksudnya, manusia berorientasi

untuk menjadi pribadi yang bergerak di antara dua titik ekstrem yaitu antara

taqwa dan fujur, antara Allah dan setan dan manusia juga memiliki kehendak

bebas. Artinya, manusia mampu membentuk nasibnya sendiri dan

bertanggungjawab, sehingga manusia mampu menerima amanah khusus dari

Allah”

Qur’an memberikan gambaran, bahwa para malaikat bersujud .

kepadanya [Adam], karena ia memiliki potensi yang integral, sehingga manusia

mampu menjadi khalifah fil ardli. Allah menciptakan dan melengkapi manusia

dengan potensi atau daya-daya yang ada dalam dirinya, kemudian

perkembangan selanjutnya terserah pada manusia sendiri dan manusia dapat

menentukan nasibnya sendiri. Tugas manusialah yang dapat memberdayakan

potensi-potensi tersebut, karena daya-daya untuk mewujudkan kehendak itu

telah ada dalam diri manusia sebelum ada perbuatan. Maka dari sini, posisi dan

peran pendidikan dalam sistem pendidikan Islam adalah sangat senteral untuk

memberdayakan dan mengaktualisasikan potensi fitrah, melalui pendidikan

sehingga memperoleh ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, seni dan

budaya berdarkan nilai-nilai ilahiyah.

Dalam al-Qur’an, Allah telah memberikan postulat-postulat atau aksioma

sebagai kunci dalam memahami, mengembangkan, dan memberyagunakan

manusia, antara lain: [1] Allah telah memerintahkan manusia agar senantiasa

berpikir dan menggunakan akal pikirannya dalam memcahkan persoalan-

persoalan hidup yang dihadapi, seperti berpolitik, ekonomi, pendidikan dan lain

sebagainya. Ini artinya, Allah telah menyediakan potensi [fitrah] pada manusia

untuk diberdayakan, sehingga menjadi manusia yang fungsional. [2] Allah telah

melakukan liberalisasi dalam bidang ilmu dan semua manusia [khususnya

muslim] baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan mencari ilmu kepada siapa

saja dan di mana saja [Hadis]. [3] Dengan potensi akal, manusia diperintahkan

untuk membuktikan kekuasaan Allah dengan cara mengkaji dan mengolah alam

demi keperluan hidupnya dan dilarang berbuat semena-mena, kerusakan dan

pertumpahan darah. Allah telah memberikan pertanyaan-pertanyaan penting

dalam al-Qur’an tentang potensi-potensi besar yang ada di darat, laut dan

angkasa. Al-Qur’an memberikan postulat-postulat atau aksioma sebagai kunci

bagi manusia untuk memahami dan mendayagunakan alam. [4] Manusia

diperintahkan untuk fantasirun fil ardl [mengembara di muka bumi] dalam rangka

mencari ilmu pengetahuan. Ini artinya, setiap manusia, masyarakat, dan bangsa,

oleh Allah diberi keistimewaan masing-masing, ilmu pengetahuan dan

perkembangan pemikiran umat manusia tidak berhenti. [5] Kecintaan terhadap

informasi atau pengetahuan yang akhirnya menumbuhkan kecintaan kepada

kegiatan belajar ,‘Al-Qur’an pada ayat pertama kali turun adalah perintah iqra .

mengandung perintah untuk membaca dan belajar yang berorientasi pada upaya

mengkaji tentang hakekat Tuhan [ilahiyah], mengkaji hakekat manusia

[insaniyah], mengkaji penomena-penomena alam semesta [sunatullah], dan

hubungan antara ketiganya serta fungsinya masing-masing secara terus

menerus dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat yang unggul dan

terbaik dalam kehidupan.

Dari Uraian di atas, menegaskan bahawa dengan potensi [fitrah] tersebut,

manusia memiliki kecenderungan untuk dibina dan dikembangkan sesuai

dengan potensinya, karakteristiknya dan hakekat kemanusian, sehingga dapat fungsional dalam kehidupan yang betul-betul eksis sebagai pemegang amanah

khalifah fil ardl. Untuk itu, pendidikan yang berdasarkan konsep dasar

pendidikan Islam, harus memandang manuasi sebagai makhluk pemegang

amanah khalifah fil ardl, manusia dapat didik, dilatih dan diberdayakan untuk

melahirkan manusia beriman, manusia yang sempurna, bermoral tinggi [anggung

dalam moralnya], memiliki pengetahuan, berwawasan luas, sebagai manipestasi

dari liberalisasi Allah terhadap kewajiban seorang muslim untuk menuntut ilmu.

Hal ini diujudkan dengan perintah Allah untuk membaca [iqra’] dan fantasirun fil

ardl dalam rangka eksplorasi ilmu pengetahuan. Selain itu, manusia juga

berkemampuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai spritual ilahiyah dengan nilainilai kultural duniyawiyah dalam konstruksi yang kokoh, seimbang, harmonis,

dinamis dan kreatif dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, potret

manusia semacam inilah yang dikehendaki dalam bangunan pendidikan Islam

berdasarkan konsep potensi [fitrah] yang bernilai ilahiyah yang aktual dalam

hidup dan kehidupan manusia.

Pengembangan pendidikan, harus tetap memperhatikan aspek potensi

dasar manusia yang ideal dan fungsional tersebut, karena semua potensi yang

dimiliki manusia akan menjadi sasaran pendidikan untuk dikembangkan melalui

kondisi-kondisi yang diciptakan dengan memberikan rangsangan sesuai dengan

kondisi yang diinginkan dan dikehndaki. Kondisi ini mungkin saja dapat

mempengaruhi potensi, baik yang tercipta melalui proses alamiah maupun situasi

yang diciptakan dalam proses pendidikan. Dengan pengembangan potensi

tersebut, memungkinkan manusia tumbuh dan berkembang secara utuh,

harmonis, integratif sesuai dengan nilai-nilai dan hakekat humanisasi. Maka,

melalui proses pendidikan, dapat “menimbulkan pertumbuhan yang seimbang

dari kepribadian total manusia melalui latihan spritual ilahiyah, intelek, rasional

diri, perasaan dan kepekaan terhadap perkembangan manusia. Karena itu,

proses pendidikan seharusnya menyediakan dan menciptakan jalan bagi

pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, yaitu aspek spritual ilahiyah,

intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik”, baik secara individual maupun secara kolektif serta dapat memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai

kebaikan dan kesempurnaan manusia [insan kamil].

Sejalan dengan pandangan di atas, maka pendidikan sesuai dengan

fungsi dan perannya diharapkan mampu melahirkan manusia dan masyarakat

yang memiliki kemampuan spritual, berilmu, bermoral, memiliki kemampuan

profesional, kemampuan inovasi dalam membangun dan menata kehidupan

dunia yang rahmatan lil ‘alamin. Usman Abu Bakar, menyatakan bahwa output

pendidikan Islam sekurang-kurangnya diharapkan mampu melahirkan manusia

yang memiliki kemampuan spritual ilahiyah yang tinggi, ketinggian ilmu,

memiliki komitmen terhadap profesionalisme, memiliki akhlak al-karimah, yaitu

akhlak terhadap dirinya, akhlak terhadap Allah Sang Pencipta-Nya dan akhlak

terhadap makhluk-Nya yang mencerminkan “keanggunan moralitas” manusia

dalam keluarga, masyarakat dan berbangsa yang merupakan ciri masyarakat

madani. Jadi manusia dan masyarakat yang unggul adalah manusia dan .

masyarakat yang “melakukan liberalisasi dalam bidang berpikir dan ilmu

pengetahuan. Masyarakat dan bangsa yang tidak menganggap dirinya paling

maju, bangsa yang terbuka untuk menerima ilmu dari mana saja, bangsa agresif

dan mendunia. Bukan bangsa yang tertutup, arogan, dan mengaggap ilmu orang

lain sebagai ilmu sekuler, ilmu kafir, dan sebagainnya

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “manusia” dan

“masyarakat” yang unggul dalam masyarakat madani Indonesia, yaitu: [1]

Manusia dalam menjalankan hidupnya merupakan pengabdian kepada Allah

semata [QS.51:56], karena Islam mengajarkan hidup dan seluruh aspeknya

harus diniatkan sebagai pengabdian [ibdah] kepada Allah. [2] Cara terbaik

untuk mendapatkan prestasi dalam hidup ini adalah dengan mempunyai ilmu dan

memiliki etos kerja yang tinggi. Rasulullah saw, bersabda yang artinya : “Barang

siapa menghendaki kebahagian kehidupan dunia haruslah dengan ilmu dan

barang siapa menghendaki kebahagian akhirat haruslah dengan ilmu dan barang

siapa menghendaki kebahgian keduanya haruslah dengan ilmu pula” [al-Hadis].

[3] Berorientasi ke masa depan, kerja keras, teliti, hati-hati, menghargai waktu,

penuh rasa tanggungjawab dan berorientasi pada prestasi [achievement

oriented] dan bukan prestige semata

Jadi, manusia dan masyarakat yang unggul yang dikehendaki dalam kehidupan masyarakat madani adalah manusia yang : [a] memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, untuk

peningkatan derajat dan martabatnya, [b] mempunyai cita-cita, visi dan misi,

dalam kehidupan, [c] memiliki keunggulan kompetitif, komporatif, dan keunggulan

inovatif, [d] taat hukum, menghargai hak asasi manusia, dan menghargai

perbedaan [pluralisme], [e] memiliki rasa tanggungjawab, karena “semua

masalah dalam kehidupan harus dihadapi dengan penuh rasa tanggungjawab

[responsibility] dan penuh perhitungan [accountability], [f] bersikap rasional,

menghargai waktu, memperhatikan masa depan [membuat perencanaan hidup]

dan perubahan, kreatif dan berkarya execelence”, sehingga tercipa “manusia

madani” dalam arti manusia yang mengota, elite, dan berbudaya tinggi.

Secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia berkualitas adalah

manusia yang memiliki ciri sebagai hamba Allah yang berimanan, berilmu

pengetahuan dan keterampilan, yang dapat memberikan manfaat bagi sesama

manusia. Ketiga cirri utama ini didapatkan pada manusia yang taqwa, sehingga

manusia dan masyarakat berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang

beriman, bertaqwa kepada Allah dengan memiliki sikap tawakkal, sabar, pemaaf,

muhsin, dan selalu mau bersyukur. Manusia yang berusaha meningkatkan diri

dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kemampuan inovasi,

kemampuan melakukan perubahan serta mengajak orang untuk meningkat.

Tuntutannya, peranan pendidikan dibutuhkan untuk mensosialisasikan nilai-nilai

tersebut dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang

unggul, sehingga keberadaannya secara fungsional menjadi pemeran utama

bagi terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan

masyarakat madani Indonesia yang demokratis.

F. Kesimpulan

Dari pembahasan tentang karakteristik manusia berkualitas menurut alQur'an, dan beberapa pendapat dari pada akhli Psikologi tentang manusia

berkualitas. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Bahwa Allah menjadikan manusia tidak sia-sia. Manusia merupakan makhluk

fungsional dan bertanggungjawab, artinya manusia berfungsi terhadap diri

pribadinya, berfungsi terhadap masyarakat, berfungsi terhadap alam dan

lingkungan, dan manusia berfungsi terhadap Allah Sang Penciptanya.

2. Manusia berkualitas menurut al-Qur'an adalah manusia yang memiliki Iman

kepada Allah, memiliki amal saleh, memiliki ilmu pengetahuan, dan menjalin

hubungan sosial yang baik antara sesama manusia dengan tidak memandang

derajat, suku bangsa, dan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan

Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995.

Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Perpustakaan Pusat UII,

Yogyakarta, 1984. -------, Citra Manusia Muslim, Penerbit Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1985.

-------, Manusia dan Tanggung Jawab Pembinaan Kepribadian Muslim, dalam

Darwin Harsono (editor), Peranan dan Tanggung Jawab, Badan

Pembinaan dan Pengembangan Keagamaan Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta, 1988.

Ahmad Muflih Saefuddin, Kualitas Akademis Lulusan Tarbiyah, Makalah :

Seminar Nasional dan Sarasehan Mahasiswa Tarbiyah, Prospek Tarbiyah

dan Tantangannya, Pada tanggal, 22-23 Januari 1992, Senat Mahasiswa

Fakultas Tarbiyah, UII, Yogyakarta, 1992.

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya.

Bimo Walgito, Psikologi Sosial [Suatu Pengantar], Yayasan Penerbit Fakultas

Psikologi UGM, Yogyakarta, 1987.

Djamaludin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia Dalam Milenium Ke Tiga,

Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Fakultas Psikologi